JAKARTA – Rencana pemerintah mengubah sistem pemilihan rektor terus memicu kontroversi. Penentuan akhir pemilihan rektor oleh Presiden justru dianggap akan mengganggu otonomi kampus.
Di sisi lain Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) malah mengaku belum mengetahui usulan yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo tersebut. Pendapat bahwa pemilihan rektor oleh Presiden hanya akan merusak kemandirian kampus disampaikan pakar pendidikan tinggi Totok Amin dan pengamat pendidikan dari Eduspec Indra Charismiadji. Dalam pandangan mereka, formula saat ini yang memberikan porsi 35% suara kepada Menristek Dikti sudah tepat.
”Wacana pengangkatan rektor oleh Presiden bertentangan dengan otonomi kampus dan juga sebuah praktik yang tidak lazim. Selain itu bukankah tugas Presiden sudah sedemikian banyak sehingga tidak perlu lagi ditambahidengantugasmemilih rektor yang memang sudah ada hak otonom kampusnya. Mudaratnya banyak. Malah bahaya karena nanti banyak yang memberikan masukan ke Presiden,” ujar Totok Amin di Jakarta kemarin. Dalam pandangannya, Kemenristek Dikti masih bisa dipercaya sebagai pihak pengontrol seleksi rektor. Porsi 35% suara Menristek Dikti dalam pemilihan rektor cukup pas.
”Sementara untuk mengawasi kampus dan mencegah paham radikalisme dan separatisme berkembang di kampus juga tidak perlu Presiden, melainkan cukup eselon di Kemenristek Dikti saja yang berwenang,” sebutnya. Indra Charismiadji menandaskan, kebijakan Presiden untuk turut campur dalam pengangkatan rektor bukanlah solusi yang tepat. Jika memang latar belakangnya karena ada isu radikalisme dan terorisme, yang seharusnya dilakukan pemerintah ialah mempercepat adanya UU Antiterorisme dan bukan mencampuri undangundang pendidikannya.
”Jangan seakan-akan rektor sebagai institusi pendidikan sebagai bagian yang mengancam, melainkan harus ada aturan bagi individu yang harus dicegah untuk memasukkan paham radikal ke dunia pendidikan,” tandasnya. Menurut dia, sistem pengangkatan rektor saat ini dengan 35% suara Menristek Dikti sudah bagus. Bila porsi suara dari menteri itu tidak sesuai, harus ada musyawarah lagi untuk mengubahnya. Ini sesuai dengan prinsip Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. ”Suara Menristek Dikti sebanyak 35% kan sudah mewakili pemerintah pusat. Nah 65% perwakilan senat mewakili stakeholdersdi kampus,” katanya.
Seperti diketahui, pemerintah berencana mengubah mekanisme pemilihan rektor. Mendagri Tjahjo Kumolo mengungkapkan, selama ini pemilihan rektor menjadi tanggung jawab Kemenristek Dikti. Namun dari hasil komunikasi pemerintah, nantinya proses tersebut tak lagi menjadi kewenangan menteri, melainkan langsung Presiden. ”Berdasarkan hasil komunikasi kami dengan Mensesneg dan Menristek Dikti serta Presiden, kamikira sudahmenjadikeputusan terakhir harus dari Pak Presiden,” kata Tjahjo seusai penandatanganan nota kesepakatan( MoU) dengan63rektordi Kemendagri, Kamis (1/6).
Tjahjo beralasan, kebijakan itu bertujuan agar ada satu keutuhan serta penyeragaman dalam pemilihan rektor. Menurut dia, akan ada forum konsultasi antara Kemenristek Dikti, Presiden, dan kementerian terkait sebelum memutuskan siapa yang menjadi rektor. Mekanisme awalnya, kata Tjahjo, jabatan strategis di kampus ini dipilih senat perguruan tinggi dan Menristek Dikti. Kemudian nama calon rektor ini dikonsultasikan ke Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Namun wacana tersebut ternyata tidak bulat. Menristek Dikti Mohammad Nasir terkesan tidak tahu-menahu.
Dia bahkan masih akan bertemu dengan Mendagri untuk membicarakan wacana tersebut. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenristek Dikti Nada Marsudi menandaskan, sebelum ada pertemuan itu, Menristek Dikti belum akan mengeluarkan pernyataan resmi. ”Mulai sekarang hingga ada pertemuan itu, maka pertanyaan sebaiknya diajukan ke Mendagri yang memulai statemen itu,” tandas dia. KemarinPresidenJokoWidodo (Jokowi) memastikan pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) danperguruantinggi agama Islam negeri (PTAIN) tidak akan pernah dipilih Presiden atau dengan intervensi Presiden.
Sikap ini disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo. Johan menuturkan, Presiden Jokowi sudah mendengar pernyataan yang disampaikan Mendagri tentang pemilihan rektor akan ditentukan dan diputuskan Presiden. Bahkan Johan menyebutkan pada Jumat (2/6) pagi dirinya sudah berkomunikasi dengan Mendagri Tjahjo tentang hal tersebut. Johan memastikan, Presiden tidak akan ikut campur terhadap pemilihan rektor universitas.
”Kalau ditanya apakah ada mekanisme dalam pemilihan rektor, sampai hari ini belum ada perubahan. Pemilihan rektor sesuai dengan (aturan) yang selama ini dilakukan,” kata Johan saat berbincang dengan KORAN SINDO di Istana Negara, kemarin.
Bisa Semakin Runyam
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS Abdullah Fikri Faqih mengkhawatirkan wacana Presiden ambil alih pemilihan rektor hanya akan memperpanjang kemelut birokrasi pemerintahan karena semuanya harus diputuskan Presiden. ”Alihalih menghentikan kemelut di perguruan tinggi, hal itu malah bisa menjadi semakin runyam. Sebab birokrasi semakin panjang karena harus sampai Presiden,” ucap Fikri Faqih. Dia mengingatkan, kemelut pemilihan rektor yang sekarang ditangani menteri yang membidangi pendidikan tinggi saja penyelesaiannya sudah berlarut-larut dan lama. Apalagi jika semua keputusan ditentukan oleh Presiden yang urusannya sudah banyak.
”Untuk regulasi setingkat peraturan pemerintah (PP) sebagai mandat tindak lanjut dari UU yang sudah ditetapkan DPR bahkan sudah lama diundangkan oleh Mensesneg, di beberapa sektor saja puluhan bahkan ratusan yang tak kunjung terbit karena memang harus mendapat persetujuan dan tanda tangan Presiden. Ini tentu birokrasi yang sangat tidak praktis dan tidak modern,” sebutnya. Berdasar kondisi tersebut, Fikri malah menyarankan pemerintah menyerahkan berbagai urusan kampus, termasuk pemilihan rektor, ke kalangan internal kampus.
”Beri kepercayaan agar PT lebih mandiri dan agar bisa terus mengonsolidasikan kehidupan demokrasi di kampus. Tidak hanya pada tataran teori, tetapi juga menjadi ajang untuk menerapkan ilmu mereka,” tandasnya. Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP Nico Siahaan mengaku prihatin dengan adanya rektor yang punya pemikiran tidak sejalan dengan Pancasila. Dia juga prihatin ada kampus yang notabene dibiayai uang pajak rakyat, tetapi digunakan memupuk ideologi selain Pancasila yang ingin memecah belah bangsa. Kendati demikian dia tidak sepakat jika Presiden mengambil alih pemilihan rektor.
”Sebenarnya reaksi yang sangat berlebihan, tapi itu menunjukkan ada sebuah kewenangan dari Dikti yang tidak dilaksanakan dengan baik. Apakah Jokowi sudah tidak percaya dengan menterinya atau memang informasi mengenai ada jual beli suara menteri di jabatan rektor terdengar sampai Istana,” ungkapnya saat dihubungi.
Neneng zubaidah/ sabir laluhu/ mula akmal/ rahmat sahid/ inin nastain
Sumber : Koran Sindo, 3 Juni 2017, diakses melalui: http://koran-sindo.com/page/news/2017-06-03/0/2/index.php