Kebijakan pemerintah saat ini untuk mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan mancanegara ke bumi nusantara ibarat dua sisi mata pedang. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap mendongkrak perolehan devisa dan mengerek ekonomi masyarakat di daerah destinasi wisata. Di sisi lain, terdapat potensi ancaman terhadap lingkungan hidup, sosio-kultur masyarakat, isu kesehatan, hingga kedaulatan dan pertahanan bangsa.
Target kunjungan wisman tahun 2016 mencapai 12 juta per tahun atau rata-rata 1 juta wisman per bulannya. Sedangkan, kunjungan ini dinaikkan di tahun 2017 menjadi 15 juta wisman. Target tersebut bukan tak mungkin tercapai. Pasalnya, pemerintah berkaca pada jumlah kunjungan wisman di 2015 yang sukses mencapai target, yakni 10,4 juta orang.
Terlebih, pemerintah turut mendukung kemudahan bagi orang asing untuk masuk ke Indonesia melalui Perpres Nomor 69 tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, pemerintah menambahkan 45 negara baru dengan fasilitas bebas akses (Visa). Sehingga total kini jutaan warga asing dari 90 negara di dunia bebas datang dan tinggal di Indonesia. Tentunya, ketentuan ini hanya berlaku maksimum untuk 30 hari kunjungan.
Pemerintah Indonesia juga membuka akses pelabuhan-pelabuhannya bagi kapal-kapal pesiar internasional. Melalui penghapusan kewajiban cabotage bagi kapal penumpang dan yacht asing. Hal ini berarti kapal-kapal pesiar asing tersebut bebas menaikkan dan menurunkan penumpangnya di pelabuhan yang ditentukan.
Perubahan kebijakan ini ditujukan untuk menarik lebih banyak pengunjung asing. Meski, pemerintah harus rela kehilangan potensi pendapatan dari biaya visa masuk, yang ditetapkan sebesar US $35 per visa. Atau jumlah yang sama dengan 420 juta dollar AS untuk 12 juta visa yang seharusnya dibuat oleh wisman. Para ahli ekonomi mahfum, bahwa ada harga yang lebih menguntungkan dengan ‘pengorbanan’ ini. Data menunjukkan, setiap wisman menghabiskan 1.100- 1.200 dollar AS per orang setiap kali kunjungan ke Indonesia. Artinya, akan ada 13,2 –14,4 miliar dollar AS yang memenuhi pundi-pundi devisa negara.
Kabar tersebut tak dapat dipungkiri, merupakan angin segar bagi perekonomian tanah air, khususnya industri pariwisata. Respon para pelaku ekonomi di sektor ini pun bak gayung bersambut. Muncul banyak destinasi wisata baru yang memang sudah melimpah dianugrahi menjadi surganya Indonesia. Setiap pemerintah daerah sigap berbenah dengan memperbaiki infrastruktur, seperti akses transportasi, hotel, restorasi, dan dilengkapi situs informasi yang memadai.
Pembangunan fisik, apabila tidak disertai manajemen lingkungan hidup yang baik, dipastikan akan mengganggu fungsi ekologis dan mengurangi nilai wisata daerah tersebut. Pembangunan kawasan sejuk di pegunungan/ dataran tinggi misalnya. Wilayah hutan alami sebagai wilayah penyangga dan daerah tangkapan air, banyak dialihfungsi menjadi bangunan villa, bungalow, lapangan golf, bahkan mall. Akibatnya, bentang alam yang awalnya menjadi modal destinasi wisata daerah tersebut menjadi rusak. Risiko erosi, longsor, dan banjir bandang menjadi bahaya yang nyata. Disamping itu, buruknya manajemen transportasi menyebabkan daerah tujuan wisata hanya menjadi tempat parkir kendaraan bermotor yang sangat panjang (baca: kemacetan parah). Kemacetan tersebut menyumbang indeks polusi udara yang sangat tinggi, serta pemborosan bahan bakar fosil.
Daerah dataran rendah di tepi laut pun tak luput dari ‘sentuhan’. Pembangunan resor-resor wisata yang massif telah menggeser peruntukan hutan mangrove di pesisir. Padahal wilayah tersebut menjadi rawan akan abrasi, dan kehilangan biodiversitasnya. Perilaku para turis yang tidak terkontrol, cenderung vandalis, dapat mengganggu kenyamanan hidupan liar di wilayah habitat alaminya. Termasuk memberi pakan pada hewan-hewan yang merusak kemampuan dan insting berburunya. Atau menyentuh hewan liar, yang bisa jadi malah menyakiti hewan tersebut dan bahkan membahayakan penyentuhnya. Terumbu karang yang diinjak dapat patah atau mati, padahal kemampuan tumbuhnya hanya 1 cm per tahun.
Selain faktor ekologis, pariwisata juga mempengaruhi isu sosial. Pertumbuhan pariwisata yang pesat di Bali mulai menimbulkan krisis air selama beberapa tahun belakangan. Menurut data Walhi, satu kamar hotel di Bali menghabiskan air 3000 liter per hari, dan lapangan golf sampai tiga juta liter air per hari. Bandingkan dengan masyarakat Bali yang hanya menghabiskan 200 liter air per orang per hari. Sudah bisa ditebak, terjadi kompetisi terhadap sumber daya, yang berujung pada konflik sosial. Seperti yang terjadi di Tabanan, antara pihak PDAM dengan petani lokal yang menggunakan sistem subak.
Kesenjangan sosial juga semakin terasa, manakala pemilik modal terus mengembangkan sayap investasinya, sementara masyarakat lokal tetap sebagai buruh, tanpa pernah menikmati kue ekonomi tersebut. Padahal masyarakat setempat yang awalnya memanfaatkan alam sebagai mata pencaharian, kerap dirugikan atas perubahan alih fungsi lahan.
Selain itu, budaya masyarakat asing, terutama hegemoni Barat yang cenderung permisif dan bebas, menularkan perilaku tidak sehat, khususnya pada kelompok usia produktif. Kasus HIV-AIDS, hepatitis, sipilis, dan penyakit menular seksual lain menjamur akibat maraknya prostitusi, minuman, beralkohol, dan narkotika. Perputaran uang di bisnis wisata macam ini memang luar biasa menjanjikan, sejalan dengan tingkat kerusakan yang disebabkannya.
Di samping permasalahan sosial, isu kedaulatan bangsa juga tersentuh oleh kebijakan pariwisata. Kerjasama bilateral di antara Indonesia dengan mitra ekonominya, seperti RRT telah membuka keran migrasi penduduk yang lebih deras. Namun, setiap kebijakan seharusnya sudah matang memperhitungkan dampak sosio-ekonominya. Seperti yang marak diberitakan mengenai pekerja ilegal di berbagai proyek investasi asal negeri tirai bambu itu. Pekerja yang terkena razia kebanyakan tak punya dokumen perizinan, hanya memanfaatkan kunjungan turis saja. Lebih mencengangkan, banyak di antara mereka adalah pekerja kasar, bukan tenaga ahli yang diharapkan ada proses transfer ilmu. Hal ini tentu saja jauh dari prinsip kesetaraan ekonomi yang saling menguntungkan, dimana investor akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal dan melaksanakan alih teknologi.
Isu kepemilikan lahan oleh orang asing juga wajib untuk menjadi perhatian pemerintah. Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 tegas melarang setiap warga negara asing untuk memiliki hak atas properti di atas bumi Indonesia. Yang ada hanyalah hak pakai, hak usaha, dan hak guna bangunan sesuai ketentuan perundangan. Aturan ini sejalan dengan semangat nasionalisme dan UUD 1945. Hal ini seharusnya cukup menjawab isu tentang adanya iklan penjualan properti di proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang sempat tayang di negara asing.
Sekelumit permasalahan di atas seharusnya mampu dijadikan evaluasi dalam program visit Indonesia yang semakin gencar. Konsep pembangunan pariwisata Indonesia yang masih bersifat massal-konvensional, sudah seharusnya beralih kepada konsep pembangunan berkelanjutan. Sebuah integrasi konsep dari pembangunan yang tidak melulu antropo-sentris (manusia adalah pusatnya), namun juga memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, mengutamakan prinsip keadilan sosial, serta pemerataan kemakmuran masyarakat.
Drs. Abdul Fikri, MM
Wakil Ketua Komisi X DPR RI