JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengingatkan agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ke depannya lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan.
Hal ini disampaikannya karena kegaduhan yang timbul akibat aturan mengenai sekolah 5 hari atau 8 jam sehari yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017.
Permendikbud itu digantikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 mengenai Pendidikan Karakter yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Rabu (6/9/2017).
“Pelajaran dari tiba-tiba terbitnya Permendikbud 23/2017 yang baru saja digantikan adalah bahwa jangan lagi ada kegaduhan lantaran pemerintah terus bikin move tanpa melihat kesiapan pelaksanaannya sehingga membuat panik di lapangan,” kata Fikri, saat dihubungi, Kamis (7/9/2017).
Fikri menilai, pemerintah saat ini kerap menggunakan metode test the water dalam membuat kebijakan, khususnya Mendikbud.
Hal seperti ini dinilai tidak tepat apalagi jika digunakan pada sektor mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
“Sangat sensitif karena terkait hak dasar warga negara,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Pengambilan kebijakan strategis, menurut dia, harus melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Dalam hal ini, kata Fikri, misalnya lembaga besar seperti organisasi kemasyarakatan yang memiliki peran dominan.
Kebijakan juga harus disertai sosialisasi yang masif.
“Bila sosialisasi kurang merata dan jelas pun bisa bias penerimaannya. Tetap diprotes atau jalan tapi tidak efektif,” ujar dia.
Meski demikian, Perpres yang diteken Jokowi dilihat lebih bijaksana, baik dari persyaratan SDM maupun sarana prasarana yang harus dipenuhi untuk program penguatan pendidikan karakter.
“Dengan memerhatikan dan mengakomodasi masukan pihak yang tidak setuju, maka nampaknya memang perpres ini lebih bijaksana, lentur dan tidak memaksa,” kata Fikri.
Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Perpres tersebut terdaftar sebagai Perpres Nomor 87 Tahun 2017.
Perpres ini menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017.
Peraturan Menteri tersebut sempat ditolak oleh kalangan Nahdlatul Ulama karena mengatur waktu sekolah selama 5 hari dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari.
Kebijakan sekolah 8 jam tersebut dianggap bisa mematikan sekolah madrasah diniyah yang jam belajarnya dimulai pada siang hari.
Sumber: Kompas.com